Mentradisikan Kebebasan Berfikir[1]
Moh. Shofan
Di harian SURYA, tepatnya tanggal 23 Desember 2006, telah memuat opini saya berjudul ‘Natal dan Pluralisme Agama’ yang di dalamnya tertulis ucapan ‘Selamat Natal’ kepada umat Kristiani. Sebuah judul yang menurut sebagian umat Islam cukup menantang dan mempunyai daya provokasi ilmiah yang cukup kontroversial—terlebih memasuki ruang teologis yang cukup sensitif. Tak disangka tulisan itu kemudian berbuntut pemecatan terhadap saya, sebagai dosen tetap di Universitas Muhammadiyah Gresik. Apa pasal? Menurut mereka, tulisan itu dianggap bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam AD/ART, Muqoddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, Kepribadian Muhammadiyah, Khittah Perjuangan Muhammadiyah dan keputusan PP. Muhammadiyah nomor: 149/KEP/1.0/B/2006, tentang Kebijakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengenai konsolidasi organisasi dan amal usaha Muhammadiyah. Atas dasar itulah mereka menilai saya secara terang-terangan telah melakukan konfrontasi terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam Muhammadiyah dan mendasarkan pada keputusan PP. sebagaimana saya sebut di atas.
Mereka juga menuduh saya menyebarkan paham-paham sesat (baca: liberal) melalui proses perkuliahan di kelas, penerbitan buku dan berbagai kegiatan ilmiah lainnya, seperti seminar dan bedah buku dan berbagai alasan lainnya untuk menyudutkan saya. Dengan sejumlah alasan yang saya sebut di atas mereka merekomendasikan kepada Pimpinan (baca: Rektor) Universitas agar mengambil sikap tegas berupa pencabutan status sebagai dosen tetap. Sebuah tindakan yang–menurut saya–sulit masuk diakal.
Tulisan ini tidak berpretensi untuk melakukan pembelaan yang terkesan apriori. Tetapi lebih karena didorong oleh satu alasan akademis, bahwa kampus yang seharusnya akomodatif terhadap wacana keilmuan malah justru telah melakukan kesalahan yang amat mendasar dengan memasung kreatifitas berfikir dosen dan mahasiswa dengan alasan yang cukup klasik, yakni alasan teologis. Semestinya, kebebasan berfikir haruslah menjadi landasan utama. Tidak boleh ada represi dan ancaman untuk setiap gagasan, apapaun gagasan itu. Dalam berbagai tulisan dan ceramahnya, Cak Nur (panggilan akrab Nurcholish Madjid) selalu menyebutkan pentingnya menghormati pendapat, sekalipun pendapat itu bertentangan dengan keyakinan paling mendasar kita. “Jika Tuhan saja membebaskan seseorang untuk menjadi ateis, maka tidak ada hak bagi manusia untuk melarang ateisme.” Begitulah pernyataan yang kerap dilontarkan Cak Nur. Menurutnya, “Kebebasan adalah kata-kata kunci bagi ide modernitas, dan merupakan benteng bagi keabsahannya. Tetapi kebebasan akan benar-benar memberi manfaat hanya kalau terwujud dalam sistem yang memberi peluang bagi adanya pengecekan kepada kecenderungan tak terkendali. Sebab, kecenderungan tak terkendali atas nama kebebasan hanya akan melahirkan banyak penyakit sosial.
Dengan keyakinan semacam itu, seharusnya perguruan tinggi–khususnya Muhammadiyah, dan pada hakikatnya di semua perguruan tinggi di Indonesia–menjadi pusat pemikiran yang punya gravitasi bagi anak-anak muda Islam. Masyarakat harus diberi kebebasan untuk menerima informasi seplural mungkin tanpa adanya tekanan dari pihak-pihak tertentu. Karenanya, sangat aneh kalau kampus kemudian melarang-larang wacana (yang dianggap) liberal dengan alasan bisa merusak lingkungan civitas akademika. Di sisi lain, kampus (justru) tidak berkeberatan dan terkesan membiarkan wacana yang berseberangan dengan kelompok (yang dianggap) liberal, yakni Islamisme (istilah lain dari fundamentalisme Islam) dengan tanpa hambatan, mereka bebas bertebaran di kampus-kampus. Muncul sebuah anggapan bahwa Islamisme dapat membendung arus liberalisme. Kalau anggapan itu benar, tentu saja ini sebuah kenaifan–untuk tidak mengatakan kerancuan.
Bukankah Nabi Muhammad SAW pernah memberikan petuah bijak untuk pengikutnya, ”al-ikhtilaf rahmah”, perbedaan adalah rahmat. Mengapa? Sebab dengannya manusia bisa saling mengisi dan berbagi. Dan agar umatnya terjauh dari laknat berupa keping-keping pecah. Tetapi ternyata sabda suci itu menjadi omong kosong di hadapan pengikutnya. Setiap golongan dari umatnya selalu menganggap jika merekalah yang paling benar di hadapan Tuhan dan Nabi. Dan selain mereka, adalah setan, kafir, murtad yang harus disadarkan dari ketersesatannya.
Fenomena pengkafiran memang seolah-olah menjadi trend dewasa ini. Apalagi ketika pengkafiran telah ditunggangi sebuah kepentingan dan kehilangan nilai ilmiah, niscaya “pengkafiran” pun tak bisa dielakkan lagi, padahal sebenarnya banyak cara yang bisa ditempuh untuk menyelaraskan kedua belah pihak yang bertikai. Dilema tragis di ataslah yang menimpah Abu Zayd, tatkala menempuh tes uji kelayakan menjadi seorang professor di Universitas Kairo, dan sebenarnya kejadian ini merupakan bencana ketiga kalinya, setelah Thoha Husen dan Ahmad Khalafullah. Keberanian Abu Zayd dalam menyampaikan ide-ide segar harus dibayar dengan harga yang mahal. Pengadilan memutuskan bahwa ia tidak dianggap lagi sebagai muslim, dan otomatis dinyatakan “cerai” dan kehilangan istri tercinta. Walaupun setelah peristiwa itu, Abu Zayd lari ke Belanda dan mendapatkan suaka politik di sana sampai sekarang.
Tradisi kafir mengkafirkan, sesat menyesatkan dalam dunia pemikiran Islam bisa dilacak melalui sejarah. Dalam salah satu karyanya yang cukup terkenal Tahafut al-Falasifah (Kerancuan para Filusuf), Abu Hamid al-Gazali (w. 1111) memberikan cap kafir kepada para filusuf muslim karena beberapa pandangan mereka yang dianggap bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Sebagai konsekuensi dari pengkafiran ini, banyak orang berpendapat bahwa perkembangan filsafat Islam menjadi mandeg.
Menurut Luthfi As-Syaukanie, di dunia Barat, pengkafiran boleh dibilang sudah selesai. Kalaupun ada, itu adalah kasus khusus dan tak pernah lagi menjadi isu sentral. Kebebasan berekspresi dan berpendapat benar-benar dijaga dan dijunjung tinggi, kecuali pada kasus-kasus khusus, yang tidak secara langsung terkait dengan pemikiran keagamaan. Sementara di negara-negara muslim, pengkafiran tak pernah berakhir, bahkan kini ada kecenderungan semakin menguat sejak Khomeini mengeluarkan fatwa mati untuk Salman Rushdi pada awal tahun 1980-an, kebebasan berfikir menjadi sesuatu menakutkan di dunia Islam. Faraj Fauda, Naguib Mahfudh, Nawal el-Sa’dawi, Fatima Mernissi, Muhammad Arkoun, dan Muhammad Ahmad Khalafullah, adalah nama-nama terkena pasal “kebebasan berpikir”.
Mereka difatwa kafir karena pandangan-pandangannya yang dianggap tidak sejalan dengan ortodoksi Islam. Kesewenang-wenangan atas nama agama yang sudah ditinggalkan orang-orang Eropa sejak lama, masih terus dipeluk oleh otoritas Islam (para ulama dan kiai). Merasa menjadi wakil Tuhan di bumi dan menjadi penerus para Nabi, otoritas Islam itu masih menganggap perlu adanya pembatasan atas kebebasan berpikir dan berpendapat seseorang. Untuk meneguhkan otoritas itu, mereka mengeluarkan fatwa yang mengancam dan menakut-nakuti setiap muslim untuk bermain-main dengan pemikiran.
Para tokoh agama memainkan peran penting dalam menyemai ketakutan akan kebebasan di kalangan umat beragama. Ortodoksi agama, baik dalam Islam, Kristen, maupun Yahudi, pada dasarnya dibangun untuk mempertahankan ajaran-ajaran yang mapan dari pengaruh heretisme, yakni pemikiran-pemikiran yang dianggap menyimpang. Umumnya, cap heretisme diberikan kepada para pemikir yang memiliki pandangan yang berbeda dari ortodoksi. Dalam Islam, julukan “heretis” pernah diberikan kepada para tokoh besar semacam Ibu Sina, Ibn Rushd, Ibn ’Arabi, Jalal al-Din Rumi, dan Suhrawardi. Kesalahan mereka adalah karena mereka memiliki pandangan keagamaan yang berbeda dari doktrin-doktrin yang telah digariskan ortodoksi.
Khaled Abou El Fadl pernah menyatakan, ketika sebuah kelompok atau individu sudah menganggap dirinya paling otoritatif dalam menafsirkan ajaran keagamaan, pada dasarnya mereka dengan mudah akan terjerumus pada tindakan yang bersifat otoriter. Sebab batasan antara yang otoritatif dan otoriter sangatlah tipis dan mudah berubah.
Orang yang otoritatif, justru biasanya akan bersikap bijaksana, toleran, dan membuka diri berdialog dengan yang lainnya. Yang otoritatif pun dalam setiap tindakannya akan mengedepankan pengkajian secara mendalam, belajar secara sungguh, serta mendahulukan moralitas daripada nafsu. Sedangkan orang yang otoriter, dengan segala cara dia akan menunjukkan dirinya dan paham kelompoknyalah yang paling otoritatif dan wajib diikuti oleh yang lainnya (Speaking in God's Name, 2001).
Tidakkah sepatutnya bagi masing-masing untuk memperoleh hak hidup, hak berijtihad dan hak berbeda pendapat? Apakah kita memiliki otoritas untuk menghakimi keimanan seseorang? Bukankah Allah SWT telah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 147-148: al-Haqq mi ’r-rabbika fala takunanna mina ’l-mumtarin (Kebenaran itu hanyalah dari Tuhanmu, maka janganlah kamu termasuk orang yang ragu-ragu).
Untuk mengatasi peristiwa pengkafiran itu, kita umat Islam harus kembali bersama-sama melakukan pemahaman ajaran-ajaran Islam secara lebih utuh dan sempurna. Kita harus berani mengatakan bahwa agama diturunkan untuk memanusiakan manusia, sehingga kita akan mampu membedakan antara otoritas langit dan otoritas bumi. Sejarah membuktikan bahwa peradaban hanya lahir ketika akal dan kebebasan berfikir mendapatkan tempat dalam tradisi kehidupan. Di sinilah mengapa Islam menganjurkan umatnya untuk senantiasa memanfaatkan akal budinya mendalami segala sesuatu (Q.S. al-Hasyr/59: 2, al-A’raf/7: 185, al-An’am/6: 75, dan lain-lain) dan memberikan jaminan pemanfaatan akal secara maksimal. Oleh sebab itu, apakah masih relevan mempertentangkan akal dan wahyu? Masihkah relevan memusuhi tradisi berfikir atas nama keimanan? Masihkah layak takfir (pengkafiran) atas tafkir (pemikiran)?
[1] Tulisan ini dimuat di harian Surya, April 2007 sebagai tanggapan terhadap pemecatan Shofan sebagai dosen di Univ. Muhammadiyah Gresik
Kamis, 06 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar