Jumat, 07 November 2008

Melihat Sejarah Islam dengan "Kaca Mata" Farag Fouda

Melihat Sejarah Islam dengan “Kaca Mata” Farag Fouda
Catatan Kritis Buat Kaum Islamis[1]

Moh. Shofan

Farag Fouda adalah sedikit di antara pemikir Islam yang secara jujur dan sangat berani membongkar sejarah kelam praktik politik di kalangan kaum Muslim pada masa klasik. Fouda menengok dari sudut yang buram, berdasarkan sumber-sumber Arab, seperti Ibn Katsir, al-Thabari, Ibn Atsir, al-Mas'udi, al-Suyuthi, al-Syaristani, al-Dinuri, dan banyak yang lain. Kejujurannya dalam mengungkap sejarah sisi-sisi gelap sejarah Arab muslim di masa lampau itulah yang telah mengantarkannya pada ‘gerbang’ kematian. Fouda dianggap telah menghujat agama dan keluar dari Islam. Fouda ditembak mati di Madinat al-Nasr, Kairo, oleh pengikut kelompok radikal akibat fatwa kafir dan murtad oleh Ulama Mesir. Sebuah fatwa yang secara sewenang-wenang menyebut individu, sebagai "sesat", "kafir", dan "murtad" merupakan tindakan pembunuhan karakter (character assassination) dalam ranah teologis, yang seringkali diikuti dengan pembunuhan fisik.
Pemikiran Fouda tentang sejarah buram umat Islam atau lebih tepatnya, agama dan negara, tertuang dalam bukunya yang paling terkenal, al-Haqîqah al-Ghâibah (Kebenaran yang Hilang). Sebuah buku yang mampu membuat kalangan Islamis ‘kalang kabut’ karena merasa Islamnya (baca: agamanya) terancam. Bagaimana tidak? Dalam buku itu sangat jelas disebutkan kebobrokan yang muncul kembali setelah wafatnya Muhammad SAW. Untuk menyebut beberapa contoh, Khalifah ketiga Islam, Usman bin Affan, dibunuh oleh orang Islam sendiri dan mayatnya harus bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan. Ketika disemayamkan untuk dishalatkan, datanglah sekelompok orang Anshar yang melarang mereka untuk menyalatkannya dan menolak dimakamkan di pekuburan orang Islam. Lalu mereka memakamkannya di sebuah areal pekuburan Yahudi. Tidak cukup sampai di situ, tatkala berada di sebuah pintu, mayat Usman diludahi dan dipatahkan salah satu persendiannya. Dan saat prosesi penguburannya berlangsung orang-orang Islam melempari mayatnya dengan batu. Sungguh sial nasib sang sahabat ini.
Begitupun dengan Muawiyah bin Abu Sofyan yang dengan segala kelicikannya melawan Khalifah Ali bin Abi Thalib, menebarkan segala kebusukan untuk merusak persatuan umat Islam saat itu, dalam sejarah disebut tahun fitnah besar. Atau seorang Yazid bin Muawiyah bin Abu Sofyan yang menolak bertanggung jawab atas terjadinya tragedi Karbala, Irak, yang mengakibatkan syahidnya salah satu cucu kesayangan Nabi SAW, Husain bin Ali bin Abi Thalib. Juga seorang Abu Abbas As-Saffah, pendiri Daulah Abbasiyah, yang sangat mendendam dan dengan seenak perutnya menjagal puluhan anggota keluarga Umayyah sambil makan malam. As-Saffah sendiri artinya ‘Tulisan Berdarah’, atau bisa juga diartikan ‘Sang Penjagal’. Khalifah Abbasiyah, al-Walid bin Yazid juga sangat dikenal soal kegilaannya, kegemaran mabuknya, homoseksualitasnya dan yang lebih gila lagi, hobinya membidik al-Qur’an dengan panah.
Peristiwa di atas merupakan sebuah ungkapan yang sangat terang bahwa para khalifah adalah manusia biasa yang bisa salah dan bisa benar. Seorang pemimpin umat tidak pernah punya klaim kekebalan dan kesakralan yang membuatnya lebih tinggi derajatnya dari kaum muslim lainnya. Peristiwa berdarah saling membunuh dalam sejarah Islam tentu saja tidak mengganggu kesucian Islam. Sejarah Islam juga tidak perlu disakralkan. Sejarah adalah sejarah. Namun demikian, teks-teks sejarah tentu tidak boleh dibiarkan begitu saja mati dan maknanya terjebak pada waktu yang lampau. Teks tidak hanya memberi makna pada masa lalu, tapi juga pada masa sekarang dan masa depan. Sebab bagaimanapun teks sosial tersebut berasal dari masa lampau, sudah berjarak waktu sangat jauh, sudah ada sejak ribuan tahun.

Masalah dalam Khilafah
Melihat kenyataan sejarah umat Islam yang menggambarkan kondisi tak ideal seperti yang telah ditunjukkan dengan sangat baik oleh Fouda tersebut, maka sejatinya gagasan tentang sistem khilafah yang katanya dapat menjadi solusi bagi tegaknya pemerintahan yang bebas dari korupsi, kriminalitas, kemiskinan, dekadensi moral tak lebih hanyalah slogan hampa yang disuarakan demi kepentingan politik belaka. Alih-alih ingin menjadikan agama sebagai alat pembebasan, yang muncul justru klaim kebenaran agama yang berujung pada otoritarianisme moral. Pemerintahan Islam, bagi Fouda, justru secara penuh menggambarkan kondisi tak ideal yang disebutkannya tersebut. Buku Kebenaran yang Hilang merekam secara jelas upaya Fouda dalam menelanjangi borok praktik pemerintahan khilafah yang berjalan dari masa Khulafa al-Rasyidun sampai dinasti Abbasiyah, dan coba kembali digulirkan oleh kelompok Islamis pada abad sekarang ini. Islam sebagai agama sekaligus negara (al-din wa al-daulah) seperti dalam keyakinan kaum islamis terbukti salah. Sejarah khilafah adalah sejarah perebutan kekuasaan dan kekayaan yang melulu duniawi, sama sekali di luar agama. Sebagian besar pergantian kekuasaan dilakukan melalui kudeta berdarah yang berujung pada terbunuhnya Khalifah.
Khilafah yang dianggap sebagai konsep “negara Islam” penuh cacat di mata Fouda. Ia tidak memiliki mekanisme pemilihan pemimpin yang tetap, selalu berbeda dari Khalifah satu ke yang lainnya. Rakyat tidak pernah mendapatkan kedaulatan karena khilafah hanya percaya pada “kedaulatan Tuhan”. Khilafah juga tidak memiliki mekanisme pertanggungjawaban dan kontrol atas penguasa. Tak heran kalau Khalifah kerap melakukan tindakan yang jauh melampaui batas kewenangannya. Parahnya lagi, khilafah yang murni persoalan politik itu luput dari agenda kongkrit politik seperti sistem dan tata-cara pemerintahan, agenda reformasi politik, ekonomi dan budaya, perbaikan sistem pendidikan, perumahan dan lainnya.
Karenanya, tidak terlalu mengherankan jika kita melihat ketidakmampuan kaum Islamis dalam memahami realitas kekinian. Islam menjadi agama yang sangat eksklusif: tak mampu memahami kemajuan. Islam di mata kalangan Islamis seakan-akan hidup dalam alienasi dan kolonialisasi. Islam dianggap sebagai agama yang dititahkan untuk bersikap defensif sekaligus ofensif. Tentu saja, seperti ini menimbulkan pelbagai problematika serius. Pertama, munculnya klaim kebenaran. Gerakan islamisme menimbulkan kecenderungan untuk menentukan ukuran kebenaran. Persis pada tataran ini, agama menjadi “pulau-pulau kebenaran” yang dialami komunitas tertentu. Akibatnya, Islam dipersepsikan menjadi agama yang bisa mengatasi dan merepresentasikan kebenaran yang dibawa agama-agama lain. Bukan hanya itu, bahkan Islam dipersepsikan sebagai kebenaran tunggal.
Kedua, munculnya monopoli tafsir. Kecenderungan ini merupakan kensekuensi logis dari klaim kebenaran yang menyebabkan lahirnya sakralisasi terhadap tafsir keagamaan. Apa yang diproduksi agamawan (ulama) sepanjang sejarah peradaban Islam merupakan sejarah yang bersifat reproduktif dan regresif, yaitu sejarah yang selalu kembali kepada masa lalu. Selain itu, monopoli tafsir juga diregulasi oleh kepentingan politik tertentu. Salah satu pemandangan yang menyejarah adalah kolaborasi antara produk pemikiran dengan kepentingan penguasa dalam setiap zamanya. Diakui atau tidak, kenyataan ini telah mengukuhkan singgasana tafsir keagamaan yang bersifat monolitik, diskriminatif dan sentralistik.
Ketiga, munculnya kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Dampak yang pertama dan kedua merupakan karakter dari sakralisasi terhadap doktrin dan dogma keagamaan. Sedangkan kekerasan dan radikalitas merupakan dampak lanjutan dari konteks sosial yang secara riil memiskinkan komunitas agama tertentu. Kenyataan tersebut telah memberikan angin segar bagi kalangan tertentu untuk melakukan kekerasan yang seakan-akan mendapatkan justifikasi dari agama. Doktrin jihad dalam tradisi Islam sering kali dijustifikasi oleh sebagian kelompok dan sekte untuk mengabsahkan kekerasan. Jihad disakralkan sebagai pengorbanan untuk Tuhan, kendatipun dengan menggunakan kekerasan.
Oleh karenanya, ambisi kaum islamis untuk mendirikan khilafah Islam adalah sesuatu hal yang mustahil dan hanya membuang waktu untuk mengejar mimpi yang tak kunjung terwujud. Penyatuan wilayah di bawah satu naungan khilafah adalah mitos. Tidak terbukti dalam catatan sejarah. Melalui khilafah mereka berasumsi bahwa penerapan syariah dapat ditegakkan, kesatuan umat (pan-islamisme) dapat digalang, jihad dapat dilaksanakan. Pendek kata, dengan tegaknya pemerintahan Islam, segala bentuk korupsi, kriminalitas, kemiskinan, dekadensi moral, dan persoalan lain dapat diselesaikan. Namun, untuk merealisasikan gagasan itu sungguh tidak semudah seperti membalikkan tangan. Asumsi-asumsi di atas, tentu menurut keyakinan penulis tak lebih hanyalah sekadar slogan hampa yang disuarakan demi kepentingan politik belaka. Ini terlihat dari upaya para pendukung gerakan itu yang hanya menggunakan label Islam tanpa memahami secara jernih konsep-konsep keagamaan yang dijadikan sebagai slogan.
Slogan-slogan yang mereka kampanyekan seperti ‘Islam Way of Life, Islam adalah cahaya, demokrasi adalah kegelapan’ pada prakteknya hanyalah alat kampanye belaka untuk mengais dukungan publik Muslim yang selanjutnya dijadikan sebagai dasar legitimasi untuk menindas atas nama Islam. Akibatnya, Islam hanya menjadi tameng bagi watak politis upaya-upaya tersebut. Alih-alih ingin menjadikan agama sebagai alat pembebasan, yang muncul justru klaim kebenaran agama yang berujung pada pembebasan kepada agama tanpa reserve. Akibatnya, agama menjadi dogma-dogma ekslusif.
Akan terwujudkah keinginan dan cita-cita mereka untuk menegakkan syariah Islam atau pemerintahan Islam? Dengan tegas saya jawab: Tidak Mungkin! Faktanya: pemberlakuan syariat Islam yang konon secara ‘kaffah’ itu diberbagai belahan negara Islam justru lebih banyak menimbulkan distorsi dan kejahatan kemanusiaan ketimbang memunculkan sebuah peradaban manusia yang egaliter, demokratis, berkeadilan, dan manusiawi. Apa yang terjadi di Sudan sebetulnya cukup menjadi bukti betapa riskannya memulai sesuatu dengan paras Islam yang sanksional. Mereka segera menerapkan sanksi hudud di tengah masyarakat yang terancam kelaparan. Dus, dengan berkedok agama, mereka (kaum islamis) sesungguhnya menunjukkan kemalasan, kebekuan serta ketidakmampuannya dalam merespon makna zaman.

Sekularisme: Pilihan Paling Tepat
Keberanian Fouda untuk menentang arus dan mau melihat keburukan sisi kelam sejarah sendiri patutlah mendapat apresiasi yang mendalam. Saya amat sangat yakin, apa yang ditulisnya merupakan tanggungjawabnya sebagai seorang Muslim yang memaparkan data-data sejarah secara obyektif dalam rangka melihat masa kini dan membangun harapan di masa depan. Fouda tidak bermaksud menggembosi ghirah kalangan islamis dalam menegakkan khilafah, tetapi sebaliknya, justru mengingatkan kita untuk tidak terjebak dalam lubang yang sama dari noktah-noktah gelap sejarah sendiri. Islamisme yang cenderung menafikan pluralisme, demokrasi, civil society, dan HAM pada akhirnya membangkitkan mitos sistem Khilafah Islamiyah yang lebih merupakan mitos yang bukan saja bertentangan dengan ruh Islam itu sendiri, akan tetapi juga secara sosial politik tidak mendapat dukungan yang luas. Bahkan lebih dari itu pengandaian ini memunculkan berbagai macam paradoks yang belum terselesaikan.
Karenanya menjadi sekuler adalah pilihan paling tepat. Menjadi sekuler tidak selamanya berpretensi negatif. Sekularisasi merupakan perangkat yang dapat menyelamatkan ajaran agama untuk kesejahteraan umat manusia sendiri. Jika tidak ada sekularisasi, maka eksistensi agama akan menjadi hambatan yang besar terhadap kemerdekaan berpikir, keterbukaan wacana dan ilmu pengetahuan yang merupakan spirit sekularisme. Dari sinilah kemudian timbul pemikiran tentang perlunya sekularisasi dalam pengertian “pemisahan”. Yakni upaya pemisahan antara wilayah agama atau keyakinan dengan politik (negara), antara dimensi transenden (sakral) dengan yang imanen (profan). Dalam konteks ini, Fouda sepenuhnya sekularis. Menurutnya, Islam adalah agama non-negara. Lebih dari itu, negara yang disematkan pada Islam selalu menjadi beban dan mengebiri Islam sebagai agama. Islam negara, bagi Fouda, selalu mereduksi Islam agama.
Sejarah membuktikan, kebebasan berfikir di dunia Islam telah mengisi ruang-ruang peradaban dunia. Karenanya, gerakan liberalisasi, sekularisasi yang sanggup melakukan pembacaan kritis atas teks-teks keagamaan, sehingga nalarnya tidak eksklusif menjadi sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar. Bagaimanapun, kritik teks, baik sejarah maupun teks-teks suci adalah disiplin baru yang tak memiliki preseden dalam sejarah intelektualisme umat manusia. Di masa silam, teks-teks suci dianggap sebagai korpus tertutup yang sudah selesai dan tak boleh diganggu-gugat. Siapa saja yang mencoba mengkritisinya, dia akan dianggap “murtad,” “kafir,” “zindiq,” atau istilah-istilah lain yang sejenis.
Sejarah sebagai sebuah peristiwa tidak mungkin terulang lagi, dan teks sejarah adalah dokumentasi yang berisi penafsiran dan rekonstruksi atas sebuah peristiwa yang ditulis oleh pengarangnya, maka antara masa lalu dan masa kini mesti terdapat tabir. Yang menghubungkan sejarah dan kehidupan kita sekarang adalah makna yang dikandungnya. Karenanya tidak ada jalan atau solusi terbaik kecuali penafsiran secara kreatif produktif dengan keterbukaan masa kini dan masa depan, yang mana dalam proses penafsiran tersebut peneliti bukan sekedar mereproduksi teks-teks tersebut, melainkan menafsirkannya secara kreatif. Sejarah, akan memiliki makna ketika dipertemukan dengan keprihatinan masa kini untuk membangun harapan di masa depan. Di samping kritik teks sejarah, kita harus menempatkan al-Qur’an sebagai teks yang profan (baca: sekuler) bersejajar dengan karya-karya lain. Hal itu dimaksudkan agar kita tidak terjebak pada sakralisasi al-Qur’an yang sebenarnya tidak sakral—karena sejatinya al-Qur’an adalah wahyu sekuler.
Dengan menempatkan al-Qur’an pada posisi yang tidak sakral tersebut, maka dengan sendirinya kita tidak punya beban psikologis untuk melakukan kritik dan dekonstruksi (baca: liberasi) terhadap makna aslinya. Bahkan jika perlu dilenyapkan eksistensinya untuk memperoleh makna baru atau signifikansi (al-magza)—meminjam istlah Nasr Hamid Abu Zayd. Saya sadar, untuk melakukan itu, diperlukan keberanian dan semangat intelektual. Al-Qur’an harus dilihat dan ditafsir sebagai teks yang hidup dan dikaji secara terus menerus sampai teruji oleh perjalanan sejarah. Karenanya—tidak bisa tidak— seperangkat alat-alat keilmuan yang canggih, di sini wajib kita gunakan. Alat-alat yang saya maksud adalah: pluralisme, liberalisme dan sekulerisme.


[1] Dimuat di Majalah MADINA, Yayasan Paramadina, Nopember 2008

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Dapatkah diantara pembaca mengulas balik kritik terhadap buku Farag Fouda berjudul Kebenaran Yang Hilang. Kritik tersebut ditulis oleh Asep Sobari di hidayatullah.com, berjudul, "Memuja Fouda, Menfitnah Sahabat" pada tanggal 15 Oktober 2008. Saya berharap akan ada acara bedah buku tersebut dengan para panelis dari penerbit, pengkritik beserta Prof. Syafii Maarif dan Prof Azyumardi Azra, Gunawan Mohamad dll sebagai perekomen. Berikut kutipannya:


Memuja Fouda, Menfitnah Sahabat
Wednesday, 15 October 2008 02:51
Buku Farag Fouda, doktor Ekonomi Pertanian Mesir, yang juga dikenal juru
bicara kaum liberal “menghina” para sahabat. Anehnya mendapat pujian
Syafi’I Ma’arif dan para guru besar UIN
Oleh: Asep Sobari, Lc.
Belum lama ini, Yayasan Wakaf Paramadina bekerjasama dengan penerbit Dian
Rakyat menerbitkan edisi Indonesia sebuah buku berjudul “Kebenaran yang
Hilang: Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum
Muslimin” , karya Farag Fouda (Judul aslinya: al-Haqiqah al-Ghaybah).
Selanjutnya judul buku ini disingkat KYH.
Dari judulnya, bisa ditebak, buku ini mengangkat apa yang oleh penulisnya
disebut sebagai sisi kelam dari sejarah Islam. Jika kaum Muslim menyebut
zaman Khulafaurrasyidin sebagai masa yang ideal, maka Fouda meggambarkan
sebaliknya. Menurut Fouda, zaman itu bukanlah masa ideal, tapi “zaman
biasa”. “Tidak banyak yang gemilang dari masa itu. Malah, ada banyak jejak
memalukan.” (hal.xv).
Mungkin karena itulah, kaum liberal di Indonesia sangat bergairah dengan
terbitnya buku ini. Pada sampul depan ditulis pujian Prof. Dr. Azyumardi
Azra yang dikenalkan sebagai Guru Besar Sejarah dan Direktur Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah. Terhadap buku ini, Prof. Azra
berkomentar:
“Karya Farag Fouda ini secara kritis dan berani mengungkapkan realitas
sejarah pahit pada masa Islam klasik. Sejarah pahit itu bukan hanya sering
tak terkatakan di kalangan kaum Muslim, tapi bahkan dipersepsikan secara
sangat idealistik dan romantik. Karya ini dapat menggugah umat Islam untuk
melihat sejarah lebih objektif, guna mengambil pelajaran bagi hari ini dan
masa depan”.
Pada sampul belakang, dimuat komentar Prof. Dr. Syafi`i Maarif yang
dikenalkan sebagai Guru Besar Filsafat Sejarah, Universitas Nasional
Yogyakarta (UNY). Lebih bergairah dari Profesor Azra, Profesor Syafi’i
Maarif terkesan begitu terpesona oleh karya Faouda ini, sehingga dia
berkomentar:
”Terlalu banyak alasan mengapa saya menganjurkan Anda membaca buku ini.
Satu hal yang pasti: Fouda menawarkan ”kacamata” lain untuk melihat
sejarah Islam. Mungkin Fouda akan mengguncang keyakinan Anda tentang
sejarah Islam yang lazim dipahami. Namun kita tidak punya pilihan lain
kecuali meminjam ”kacamata” Fouda untuk memahami sejarah Islam secara
lebih autentik, obyektif dan komprehensif”.
Benarkah buku Fouda ini memang obyektif dan komprehensif, sebagaimana
pujian para profesor sejarah di Indonesia itu? Untuk membuktikannya,
silakan simak fakta-fakta berikut ini:
Farag Fouda adalah seorang doktor Ekonomi Pertanian di Mesir. Dia dikenal
sebagai juru bicara yang sangat vokal dari kaum liberal di Mesir. Hidupnya
berakhir tragis. Dia ditembak mati pada 8 Juni 1992. Pada 3 Juni 1992,
sejumlah ulama al-Azhar membuat pernyataan, bahwa Fouda telah murtad dari
agama Islam, karena pendapat-pendapatnya dinilai menghujat Islam. Dalam
pengantar buku edisi Indonesia ini, Samsu Rizal Panggabean mencatat, bahwa
Ma’mun al-Hudaibi, pemimpin Ikhwanul Muslimin, membenarkan pembunuhan
tersebut. Saat menjadi saksi di pengadilan, Syekh Muhammad al-Ghazali
mengatakan, seorang muslim yang telah murtad atau keluar dari agama Islam
dapat dibunuh. (hal. xii).
Umat Islam memang bisa tersengat imannya dengan opini yang diungkapkan
Fouda. Meskipun bukan ahli sejarah Islam, Fouda mengaku “telah membaca
sejarah secara tekun, menganalisisnya dengan cermat, mengeceknya dengan
teliti” (KYH, hlm. 1). Karenanya, dia berani menuangkan buah pikirannya
tentang sejarah yang menurutnya dibingkai dengan “akal sehat” dan
menghindari khayalan subyektif yang dapat mendorong terjadinya penambahan
atau pengurangan yang melampaui kebenaran sejarah (KYH, hlm. 2). Fouda
menegaskan, Kebenaran yang Hilang ditulis “bukan untuk kepentingan
propaganda, mengolok-olok ataupun mengejek, tetapi untuk kepentingan
kecermatan dan ketelitian dalam mengungkap kebenaran sejarah” (KYH, hal.
2).
Itulah klaim Fouda. Tapi, jika ditelaah pada sumber-sumber yang
dirujuknya, kenyataannya jauh panggang dari api. Kajian Fouda bukan hanya
sering tidak obyektif, tidak komprehensif, dan tidak jujur. Tapi juga
lemah dari segi metodologi. Untuk menentukan kekuatan suatu fakta, Fouda
merasa cukup dengan hanya mengutip riwayat minor dari salah satu sumber
rujukan, tanpa harus meneliti atau membandingkan dengan riwayat-riwayat
lain yang dimuat dalam sumber yang sama, apatahlagi sumber lain.
Di sinilah letak kelemahan kajian Fouda yang paling mendasar. Fouda
mengutip sumber-sumber sejarah klasik secara sembarangan, sesuai dengan
kemauannya. Riwayat-riwayat yang tidak jelas sumbernya, dia kutip sebagai
rujukan cerita, dengan menafikan riwayat lain yang jelas dan kuat
sumbernya. Cara-cara seperti ini memang biasa digunakan oleh kaum
orientalis dalam menulis sejarah Islam. Sayangnya, kaum sekular-liberal,
seperti Fouda, juga mengikuti jejak kaum orientalis dalam memberikan
citra buruk tentang sejarah Islam.
Dengan metode yang serampangan seperti itu, Fouda membuat gambaran yang
sangat tidak beradab (baca: biadab) terhadap Sayyidina Usman r.a. Simaklah
gambaran buku ini tentang Usman bin Affan r.a.:
”Namun Usman membawa umat Islam ke dalam polemik tentang sosok dirinya.
Para pemimpin di dalam Ahl al-Hall wa al-’Aqdi membuat konsensus untuk
melarikan diri dari kepemimpinannya, baik lewat cara pemecatan menurut
kalangan ahli pikirnya, maupun kekerasan menurut kalangan garis kerasnya.
Wibawanya terguncang di mata rakyat, sampai sebagian masyarakatnya
menghunus pedang yang siap mencincangnya dan menohoknya ketika berada di
atas mimbar. Bahkan sebagian menghinanya dengan sebutan Na’tsal, sebutan
untuk orang Kristen Madinah bernama Na’tsal yang kebetulan berjenggot
lebat seperti Usman. Para pemuka sahabat pun menentangnya, ini adalah
sesuatu yang sangat terang benderang menunjukkan bahwa ia keluar dari
ketentuan al-Quran dan Sunnah. Karena itu, muncul seruan secara
terang-terangan untuk membunuhnya. Hadits Aisyah meriwayatkan: “Bunuhlah
Na`tsal, dan terlaknatlah Na`tsal.” (KYH, hal. 25).
Selanjutnya, untuk lebih mempertajam citra buruk Usman r.a., Fouda menulis
secara dramatis kisah kematian Usman dan pemakamannya:
”Ia terbunuh oleh tangan umat Islam sendiri yang bersepakat memberontak
dan mengepung rumahnya. Dan anda dapat saja membayangkan bahwa kematian
Usman telah melegakan hati sebagian umat Islam. Bahkan, permusuhan
sebagian umat Islam atas dirinya berlangsung setelah kematiannya....”
(KYH, hal. 25)
Lebih tragis lagi adalah gambaran Fouda tentang jenazah Sayyidina Usman
r.a.:
“Mayat Usman harus bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan. Ia
ditandu empat orang…dan Abu Jahm bin Huzaifah. Ketika ia disemayamkan
untuk dishalatkan, datanglah sekelompok orang Anshar yang melarang mereka
untuk menyalatkannya… Mereka juga melarangnya untuk dimakamkan di
pekuburan Baqi`. Abu Jaham lalu berkata, ‘Makamkanlah ia karena Rasulullah
dan para malaikat telah bershalawat atasnya’. Akan tetapi, mereka menolak,
‘Tidak, ia selamanya tidak akan dimakamkan di pekuburan orang Islam. Lalu
mereka memakamkannya di Hisy Kaukab (sebuah areal pekuburan Yahudi). Baru
tatkala Bani Umayyah berkuasa, mereka memasukkan areal pemakaman Yahudi
itu ke dalam kompleks Baqi`” (KYH, hal. 26).
Sayyidina Usman r.a. adalah salah satu sahabat Nabi terkemuka yang sangat
dihormati oleh umat Islam. Dia juga menantu Nabi saw. Kaum Muslimin tak
putus mengirim doa kepadanya bersama shalawat untuk Rasulullah saw. Diri
dan hartanya telah diserahkan untuk perjuangan Islam. Tapi, gambaran hebat
tentang Usman r.a. itu diporakporandakan oleh Farag Faouda. Bahkan, Fouda
berfantasi lebih jauh lagi: ”Usman diposisikan sebagai orang paling hina
dan paling sial di antara umat Islam.” (hal.27).
Itulah gambaran sangat tidak beradab tentang Usman r.a. yang dilakukan
oleh Fouda yang bukunya dipuji-puji oleh dua guru besar sejarah di
Indonesia. Upaya membuat gambaran buruk terhadap Usman itu tidak akan
berhasil, sebab data dan caranya memang sangat tidak ilmiah. Bagi
sejarawan yang mau menelaah sumber-sumber primer sejarah Islam, tidak
terlalu sulit untuk membuktikan kecurangan Fouda dan kenaifan dua Profesor
sejarah tersebut.
Fakta sejarah menunjukkan tidaklah benar bahwa para pemuka sahabat yang
tergolong Ahl al-Hall wa al-`Aqd sepakat menjauhi Usman dengan cara-cara
tak terhormat. Apalagi menyebutkan, bahwa Aisyah menyuruh membunuh Usman.
Dalam edisi bahasa Arab ditulis: “Haytsu yurwa ‘an Aisyah qauluha uqtulu
Na’tsalan wa la’anallaahu Na’tsalan.” Jadi, menurut Fouda, Aisyah sendiri
yang mengutuk Utsman dan memerintahkan pembunuhan terhadap Usman.
Dengan cara seperti itu, Fouda sedang menggiring pembaca pada sebuah
kesimpulan bahwa pembunuhan Usman sudah selayaknya terjadi. Menurut Fouda,
peristiwa tersebut “melibatkan” atau setidaknya mendapat dukungan dari
para pemuka Sahabat, seperti Ali, Zubair, Thalhah, Sa`id bin Zaid, Ibn
Umar, Ibn Abbas dan lain-lain, yang tergabung dalam Ahl al-Hall wa
al-`Aqd. Padahal, faktanya, sama sekali tidak seperti itu. Para sahabat
itu sama sekali tidak terlibat dalam pembunuhan Usman.
Sayangnya, Fouda tidak menyebut data yang lebih spesifik dan rujukan yang
dapat diukur kebenarannya. Tidak ada riwayat yang jelas dari hadits yang
disebutkan Fouda tentang riwayat `Aisyah yang memerintahkan membunuh Usman
r.a. Bahkan, `Aisyah ra. sendiri, seperti diriwayatkan Bukhari dalam
al-Tarikh al-Kabir dengan sanad yang baik, mengutuk pembunuh Usman, “Usman
dibunuh secara zalim. Terkutuklah pembunuhnya” (Muhammad al-Ghabban,
Fitnat Maqtal `Utsman, hal. 426).
Untuk membuktikan kesalahan Fouda dalam mengutip sumber-sumber sejarahnya,
cukup melacak kitab sejarah yang ditulis al-Thabari dalam subjudul, Dzikr
al-Khabar `an al-Mawdhi` al-Ladzi Dufina fihi `Utsman…(al-Tarikh, 2/687).
Buku inilah yang dirujuk dengan tidak cermat oleh Fouda. Simaklah
fakta-fakta yang tersaji dalam Kitab al-Thabari tersebut:
Terkait masalah prosesi pemakaman Usman, al-Thabari sebenarnya menyebut 9
riwayat dari 4 sumber, dengan urutan seperti berikut; Ja`far bin Abdullah
al-Muhammadi (2 riwayat), al-Waqidi (4 riwayat), Ibn Sa`ad (1 riwayat),
dan Saif bin Umar (2 riwayat). Riwayat yang dikutip Fouda di atas adalah
riwayat ketiga al-Waqidi. Padahal, sebenarnya, kitab ini menyebut sejumlah
riwayat.
Menurut riwayat pertama al-Muhammadi, Usman dimakamkan di Hasy Kaukab.
Riwayat kedua al-Muhammadi: sebuah kebun di luar [Baqi`]. Riwayat pertama
al-Waqidi: di Baqi`. Riwayat kedua al-Waqidi: di perkebunan dekat Baqi`.
Riwayat keempat al-Waqidi: di Baqi`. Riwayat Ibn Sa`ad: di Hasy Kaukab.
Dan riwayat pertama Saif: di areal Baqi` yang berdampingan dengan Hasy
Kaukab.
Kenapa Fouda hanya mencatut riwayat ketiga al-Waqidi untuk mendukung
argumentasinya? Ini menunjukkan bahwa Fouda menulis sejarah dengan tidak
cermat dan tidak komprehensif. Semua riwayat itu adalah lemah, dan anehnya
Fouda sengaja mengambil satu saja riwayat diantara riwayat yang lemah.
Itupun baru seputar riwayat-riwayat al-Thabari. Sejarawan yang baik
tentunya akan berusaha menggali riwayat-riwayat sejenis dari kitab
lainnya, misalnya al-Thabaqat al-Kubra, karya Ibn Sa’ad. Dalam kitab ini,
Ibn Sa`ad menyebut beberapa riwayat dari `Amr bin Abdullah dan al-Waqidi
yang jelas-jelas menyatakan Usman dimakamkan langsung pada malam harinya
di Baqi` (al-Thabaqat, 3/77-78).
Maka, bukankah hal yang ajaib, jika seorang Profesor sejarah seperti
Syafi’i Maarif menyebut buku Fouda ini sebagai “obyektif dan
komprehensif”!!!
Cobalah simak kekeliruan Fouda berikutnya!
Fouda menulis bahwa Usman dimakamkan di areal pekuburan Yahudi (KYH, hal.
26). Keterangan tersebut tidak tercantum dalam redaksi riwayat al-Waqidi
yang dikutip Fouda. Bahkan juga tidak terdapat dalam riwayat-riwayat lain
yang disebut al-Thabari. Penjelasan semacam itu tentu sangat fatal, sebab
siapa pun akan membayangkan, Usman r.a. dimakamkan bukan di pemakaman
Islam, tetapi di pemakaman Yahudi. Inilah salah satu fitnah dan kejahatan
besar yang dilakukan Fouda dalam melecehkan menantu Rasulullah saw dan
salah satu sahabat Nabi terkemuka. Maka, aneh sekali, jika manusia seperti
Fouda ini justru didukung dan dibanggakan oleh dua sejarawan terkemuka di
Indonesia seperti Azyumardi Azra dan Syafii Maarif.
Kasus pembunuhan Usman sebenarnya telah ditelaah secara mendalam dalam
tesis master Muhammad al-Ghabban di Universitas Islam Madinah dengan judul
Fitnat Maqtal `Utsman. Dalam tesisnya, al-Ghabban meneliti dengan cermat
semua riwayat tentang prosesi pemakaman dan penyalatan Usman.
Kesimpulannya, tidak ada satu pun riwayat yang benar-benar shahih, tetapi
semuanya lemah. Hanya saja, ada sebagian yang saling menguatkan. Di
antaranya, jenazah Usman dishalatkan dan dimakamkan di Hasy Kaukab, sebuah
kebun dekat Baqi` yang kemudian dimasukkan ke dalam areal Baqi` (Fitnat
Maqtal `Utsman, hal. 260-261). Jadi, sebenarnya, riwayat yang menyatakan
bahwa Usman dimakamkan di pemakaman Yahudi, sama sekali tidak ada, dan itu
adalah fantasi Fouda sendiri.
Penutup
Farag Fouda telah menjadi sejarah. Karyanya sama sekali tidak layak masuk
kategori buku sejarah yang komprehensif. Maka, seyogyanya, orang-orang
seperti Prof. Azyumardi Azra dan Prof. Syafi’i Maarif lebih berhati-hati
dalam menilai suatu karya sejarah. Tidaklah patut bersorak gembira
menyambut satu karya, hanya karena karya itu luar biasa dalam
menggambarkan keburukan generasi sahabat Nabi saw dan hitamnya sejarah
Islam. Apalagi itu dilakukan oleh seorang guru besar sejarah.
Sebaiknya, sebelum berkomentar, periksalah sumber-sumber aslinya. Juga,
periksa juga terjemahan edisi Indonesianya. Sebab, banyak sekali kesalahan
fatal dalam terjemahan. Misalnya, ditulis: “Umair bin Dzabi`i datang
meludahinya, lalu ia mematahkan salah satu persendiannya” (KYH, hal. 26).
Kalimat fa naza `alaih seharusnya diartikan “melompat atau menyergap
kearahnya”, bukan ”datang meludahinya”. Sedangkan kasara dhil`an
seharusnya diartikan “mematahkan salah satu tulang rusuk”, bukan
”persendian”.
Kekayaan al-Zubair di Mesir, Aleksandria, Kufah dan Basrah yang dalam teks
asli riwayat Ibn Sa`ad disebut Khithath dan Dur disalah-artikan menjadi
armada laut dan angkutan darat! Padahal arti semestinya adalah “beberapa
bidang tanah” dan “beberapa rumah.”
Akhirul kalam, sebagai peminat sejarah, yang bukan porfesor dan bukan
doktor, saya hanya bisa menyarankan, agar orang-orang terhormat dalam
bidang sejarah itu bisa menjaga kehormatannya, di dunia dan akhirat!
Ingatlah, tanggung jawab keilmuan sangat berat, apalagi menyangkut harkat
dan martabat seorang sahabat Nabi saw yang mulia, yang Nabi sendiri telah
memuji dan memuliakannya. Lagi pula, apa untungnya mengumbar fitnah dan
caci maki kepada sahabat Nabi?
Penulis adalah alumnus Pesantren Darussalam Gontor Ponorogo, dan
Universitas Islam Madinah. Kini peneliti bidang sejarah di Institute for
the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS).